Minggu, 31 Maret 2013

Supernova

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk seri novel dengan nama yang sama, lihat Supernova (novel).
Supernova 1987A yang terjadi di Awan Magellan Besar. Tanda panah di bagian kanan menunjukkan bintang sebelum meledak
Supernova adalah ledakan dari suatu bintang di galaksi yang memancarkan energi lebih banyak dari nova. Peristiwa supernova ini menandai berakhirnya riwayat suatu bintang. Bintang yang mengalami supernova akan tampak sangat cemerlang dan bahkan kecemerlangannya bisa mencapai ratusan juta kali cahaya bintang tersebut semula, beberapa minggu atau bulan sebelum suatu bintang mengalami supernova bintang tersebut akan melepaskan energi setara dengan energi matahari yang dilepaskan matahari seumur hidupnya, ledakan ini meruntuhkan sebagian besar material bintang pada kecepatan 30.000 km/s (10% kecepatan cahaya) dan melepaskan gelombang kejut yang mampu memusnahkan medium antarbintang.
Ada beberapa jenis Supernova. Tipe I dan II bisa dipicu dengan satu dari dua cara, baik menghentikan atau mengaktifkan produksi energi melalui fusi nuklir. Setelah inti bintang yang sudah tua berhenti menghasilkan energi, maka bintang tersebut akan mengalami keruntuhan gravitasi secara tiba-tiba menjadi lubang hitam atau bintang neutron, dan melepaskan energi potensial gravitasi yang memanaskan dan menghancurkan lapisan terluar bintang.
Rata-rata supernova terjadi setiap 50 tahun sekali di galaksi seukuran galaksi Bima Sakti. Supernova memiliki peran dalam memperkaya medium antarbintang dengan elemen-elemen massa yang lebih besar. Selanjutnya gelombang kejut dari ledakan supernova mampu membentuk formasi bintang baru

Daftar isi

Jenis-jenis Supernova

Supernova Keples
Berdasarkan pada garis spektrum pada supernova, maka didapatkan beberapa jenis supernova :
  • Supernova Tipe Ia
Pada supernova ini, tidak ditemukan adanya garis spektrum Hidrogen saat pengamatan.
  • Supernova Tipe Ib/c
Pada supernova ini, tidak ditemukan adanya garis spektrum Hidrogen ataupun Helium saat pengamatan.
  • Supernova Tipe II
Pada supernova ini, ditemukan adanya garis spektrum Hidrogen saat pengamatan.
  • Hipernova
Supernova tipe ini melepaskan energi yang amat besar saat meledak. Energi ini jauh lebih besar dibandingkan energi saat supernova tipe yang lain terjadi.

Berdasarkan pada sumber energi supernova, maka didapatkan jenis supernova sebagai berikut.
  • Supernova Termonuklir (Thermonuclear Supernovae)
    • Berasal dari bintang yang memiliki massa yang kecil
    • Berasal dari bintang yang telah berevolusi lanjut
    • Bintang yang meledak merupakan anggota dari sistem bintang ganda.
    • Ledakan menghancurkan bintang tanpa sisa
    • Energi ledakan berasal dari pembakaran Karbon (C) dan Oksigen (O)
  • Supernova Runtuh-inti (Core-collapse Supernovae)
    • Berasal dari bintang yang memiliki massa besar
    • Berasal dari bintang yang memiliki selubung bintang yang besar dan masih membakar Hidrogen di dalamnya.
    • Bintang yang meledak merupakan bintang tunggal (seperti Supernova Tipe II), dan bintang ganda (seperti supernova Tipe Ib/c)
    • Ledakan bintang menghasilkan objek mampat berupa bintang neutron ataupun lubang hitam (black hole).
    • Energi ledakan berasal dari tekanan

Tahapan terjadinya Supernova

Suatu bintang yang telah habis masa hidupnya, biasanya akan melakukan supernova. Urutan kejadian terjadinya supernova adalah sebagai berikut.
  • Pembengkakan
Bintang membengkak karena mengirimkan inti Helium di dalamnya ke permukaan. Sehingga bintang akan menjadi sebuah bintang raksasa yang amat besar, dan berwarna merah. Di bagian dalamnya, inti bintang akan semakin meyusut. Dikarenakan penyusutan ini, maka bintang semakin panas dan padat.
  • Inti Besi
Saat semua bagian inti bintang telah hilang, dan yang tertinggal di dalam hanyalah unsur besi, maka kurang dari satu detik kemudian suatu bintang memasuki tahap akhir dari kehancurannya. Ini dikarenakan struktur nuklir besi tidak memungkinkan atom-atom dalam bintang untuk melakukan reaksi fusi untuk menjadi elemen yang lebih berat.
  • Peledakan
Pada tahap ini, suhu pada inti bintang semakin bertambah hingga mencapai 100 miliar derajat celcius. Kemudian energi dari inti ini ditransfer menyelimuti bintang yang kemudian meledak dan menyebarkan gelombang kejut. Saat gelombang ini menerpa material pada lapisan luar bintang, maka material tersebut menjadi panas. Pada suhu tertentu, material ini berfusi dan menjadi elemen-elemen baru dan isotop-isotop radioaktif.
  • Pelontaran
Gelombang kejut akan melontarkan material-material bintang ke ruang angkasa

Dampak dari Supernova

Supernova memiliki dampak bagi kehidupan di luar bintang tersebut, di antaranya:
  • Menghasilkan Logam
Pada inti bintang, terjadi reaksi fusi nuklir. Pada reaksi ini dilahirkan unsur-unsur yang lebih berat dari Hidrogen dan Helium. Saat supernova terjadi, unsur-unsur ini dilontarkan keluar bintang dan memperkaya awan antar bintang di sekitarnya dengan unsur-unsur berat.
  • Menciptakan Kehidupan di Alam Semesta
Supernova melontarkan unsur-unsur tertentu ke ruang angkasa. Unsur-unsur ini kemudian berpindah ke bagian-bagian lain yang jauh dari bintang yang meledak tersebut. Diasumsikan bahwa unsur atau materi tersebut kemudian bergabung membentuk suatu bintang baru atau bahkan planet di alam semesta

Peristiwa Supernova yang teramati

Supernova 1994D
Ada satu bintang yang melakukan supernova di ruang angkasa tiap satu detik kehidupan di bumi. Hanya saja, untuk menemukan bintang yang akan melakukan supernova tersebut amatlah sulit. Banyak faktor yang memengaruhi dalam pengamatan supernova. Walaupun begitu, ada beberapa peristiwa supernova yang telah teramati oleh manusia, di antaranya:
  • Supernova 1994D
Dahulu kala, sebuah bintang meledak di tempat yang amat jauh dari bumi. Ledakan itu tampak seperti sebuah titik terang. Ini terjadi di bagian luar dari galaksi NGC 4526, dan dinamakan Supernova 1994D. Sinar yang dipancarkannya selama beberapa minggu setelah ledakan tersebut menunjukkan bahwa supernova tersebut merupakan Supernova Tipe Ia.

Medium antarbintang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Dalam astronomi, medium antarbintang (bahasa Inggris: interstellar medium, disingkat ISM) adalah materi (materi antarbintang/interstellar matter, ISM) dan kandungan energi (medan radiasi antarbintang/interstellar radiation field, ISRF) yang terdapat di antara bintang-bintang (atau di sekitar lingkungan bintang) dalam sebuah galaksi. ISM memainkan peranan penting dalam astrofisika karena perannya sebagai penengah antara skala-skala bintang dan galaksi.
Bintang-bintang sendiri terbentuk di wilayah ISM yang paling padat dan dingin, dan akan kembali memperkaya ISM dengan materi dan energi melalui planetary nebula, angin-angin bintang dan supernova. Selanjutnya, peristiwa saling memengaruhi antara bintang-bintang dan ISM menentukan laju hilangnya kandungan gas sebuah galaksi dan pada akhirnya menentukan pula rentang umur aktif galaksi tersebut dalam membentuk bintang-bintang.
ISM berisi kandungan dalam jumlah yang sangat sedikit (jika bersandar pada standar bumi) dari atom, molekul, debu, radiasi elektromagnetis, sinar kosmik, dan medan magnet. Materinya biasa terdiri dari 99% partikel gas dan umumnya 1% debu, dan mengisi ruang antarbintang. Campuran ini biasanya sangat halus; kepadatan gas yang tipikal berkisar antara puluhan hingga ratusan partikel per sentimeter kubik. Akibat dari nukleosintesis primordial, gasnya menjadi sekitar 90% hidrogen dan 10% helium, ditambah dengan unsur-unsur tambahan ("logam" dalam sebutan astronomi) yang terdapat dalam jumlah kecil.

@sellyagustinap: Pembahasan Soal-Soal Olimpiade Astronomi: SOAL AST...

@sellyagustinap: Pembahasan Soal-Soal Olimpiade Astronomi: SOAL AST...: Pembahasan Soal-Soal Olimpiade Astronomi: SOAL ASTRONOMI dan PEMBAHASANNYA : Soal Latihan Olimpiade Astronomi + SOLUSI

ScienceCasts: Don't Let This Happen to Your Planet

Don't Let This Happen to Your Planet




Pin it

March 29, 2013: Ozone stinks.  People who breathe it gag as their lungs burn.  The EPA classifies ground-level ozone as air pollution.
Yet without it, life on Earth would be impossible.
A fragile layer of ozone 25 km above Earth's surface is all that stands between us and some of the harshest UV rays from the sun. The ozone molecule O3 blocks radiation which would otherwise burn skin and cause cancer.  On Mars, which has no ozone layer to protect it, solar UV rays strafe the surface with deadly effect, leaving the apparently lifeless planet without the simplest of organic molecules in the upper millimeters of exposed Martian soil.
To keep track of our planet's ozone layer, NASA is about to launch the most sophisticated space-based ozone sensor ever: SAGE III, slated for installation on the International Space Station in 2014.
SAGE III (splash)
A new ScienceCast video explains how SAGE III onboard the International Space Station will monitor the recovery of Earth's fragile ozone layer. Play it
"The ISS is in the perfect orbit for SAGE III," says Joe Zawodny, Project Scientist for the instrument at the Langley Research Center.  "It will be able to monitor ozone all around the Earth during all seasons of the year."
Auroras Underfoot (signup)
SAGE III works by using the Sun and Moon as light sources.  When either one rises or sets behind the edge of the Earth, SAGE III analyzes the light that passes through Earth's atmosphere.  Ozone and other molecules absorb specific wavelengths that reveal their density, temperature and location.
"SAGE III is, essentially, analyzing the colors of the sunset to track ozone," says Zawodny. "It sounds romantic, but this is hard science."
Researchers began to worry about ozone in the early 1970s when University of California chemists Frank “Sherry” Rowland and Mario Molina testified before Congress that manmade CFCs, a key ingredient of common aerosol sprays, could destroy ozone in the stratosphere.  Their fears were soon realized. In 1985, researchers with the British Antarctic Survey announced abnormally low ozone concentrations above Halley Bay near the South Pole.  Our planet had an "ozone hole," and it was rapidly growing.
SAGE III (moonrise, 200px)
Moonlight beaming through the edge of Earth's atmosphere reveals the ozone content to SAGE III. More
In a remarkable display of international cooperation, an ozone treaty was negotiated only two years later. The Montreal Protocol regulates the production of CFCs and other ozone-destroying chemicals.  First signed in September 1987, it has since been ratified by every member of the United Nations.
Because of this agreement, ozone is now on the mend.  Ozone holes still open every year above the South Pole, but thanks to the treaty, ozone-destroying chemicals have either leveled off or decreased. At this rate, the ozone layer could recover almost fully by 2050.
To insure that ozone really is recovering--and to alert the world if it is not--NASA has been flying ozone sensors in Earth orbit for decades.
The first of the SAGE sensors rode to space on Earth observing satellites in the late-1970s and early-80s.  SAGE II data helped confirm the decline of the ozone layer and measured the effect of the Mt. Pinatubo eruption on the stratosphere. A SAGE III sensor onboard the Russian Meteor-3M satellite extended the ozone record into the 2000s with higher precision than ever.
It is not unusual for researchers to refer to SAGE as "the gold standard" in ozone monitoring. "The SAGE ozone product has a high accuracy, better than 1% in the mid-to-lower stratosphere, and a very high vertical resolution of 1km or better," says Zawodny.
When SAGE III reaches the space station, it will measure ozone deeper into the atmosphere than ever before, reaching all the way down into the troposphere where planes fly and people live.
SAGE III (sage3, 200px)
Preparing for launch: SAGE III in the laboratory at Langley Research Center. More
"From ISS, SAGE III will get a global picture of tropospheric ozone," says Zawodny. "I suspect there will be a few surprises in those measurements."
Zawodny is eager to learn what SAGE III finds in the lower stratosphere over the tropics. "The recovery of ozone there is tied to changes in greenhouse gases like CO2. Given what we know about recent increases in greenhouse emissions, it is possible that ozone in the tropics will never return to 1980s levels."
SAGE III probes Arctic regions, too.  Using the Moon as a light source, SAGE III can to detect ozone during the darkness of polar winter where other satellites have trouble seeing.
It's enough to make a hard-nosed researcher wax eloquent: "Images of the moon and sun rising and setting are dramatic and spectacular,” says Zawodny. “The interplay between the source of light and the environment delights the senses and stirs the imagination. The ability for SAGE III to turn those perceptions into something meaningful is a great pleasure."
In other words, stay tuned for some beautiful ozone data.
Credits:
Author: M.Mas'ud HabiburrahmanProduction : Dr. Tony Phillips | Credit: Science@NASA

Don't Let This Happen to Your Planet




Pin it

March 29, 2013: Ozone stinks.  People who breathe it gag as their lungs burn.  The EPA classifies ground-level ozone as air pollution.
Yet without it, life on Earth would be impossible.
A fragile layer of ozone 25 km above Earth's surface is all that stands between us and some of the harshest UV rays from the sun. The ozone molecule O3 blocks radiation which would otherwise burn skin and cause cancer.  On Mars, which has no ozone layer to protect it, solar UV rays strafe the surface with deadly effect, leaving the apparently lifeless planet without the simplest of organic molecules in the upper millimeters of exposed Martian soil.
To keep track of our planet's ozone layer, NASA is about to launch the most sophisticated space-based ozone sensor ever: SAGE III, slated for installation on the International Space Station in 2014.
SAGE III (splash)
A new ScienceCast video explains how SAGE III onboard the International Space Station will monitor the recovery of Earth's fragile ozone layer. Play it
"The ISS is in the perfect orbit for SAGE III," says Joe Zawodny, Project Scientist for the instrument at the Langley Research Center.  "It will be able to monitor ozone all around the Earth during all seasons of the year."
Auroras Underfoot (signup)
SAGE III works by using the Sun and Moon as light sources.  When either one rises or sets behind the edge of the Earth, SAGE III analyzes the light that passes through Earth's atmosphere.  Ozone and other molecules absorb specific wavelengths that reveal their density, temperature and location.
"SAGE III is, essentially, analyzing the colors of the sunset to track ozone," says Zawodny. "It sounds romantic, but this is hard science."
Researchers began to worry about ozone in the early 1970s when University of California chemists Frank “Sherry” Rowland and Mario Molina testified before Congress that manmade CFCs, a key ingredient of common aerosol sprays, could destroy ozone in the stratosphere.  Their fears were soon realized. In 1985, researchers with the British Antarctic Survey announced abnormally low ozone concentrations above Halley Bay near the South Pole.  Our planet had an "ozone hole," and it was rapidly growing.
SAGE III (moonrise, 200px)
Moonlight beaming through the edge of Earth's atmosphere reveals the ozone content to SAGE III. More
In a remarkable display of international cooperation, an ozone treaty was negotiated only two years later. The Montreal Protocol regulates the production of CFCs and other ozone-destroying chemicals.  First signed in September 1987, it has since been ratified by every member of the United Nations.
Because of this agreement, ozone is now on the mend.  Ozone holes still open every year above the South Pole, but thanks to the treaty, ozone-destroying chemicals have either leveled off or decreased. At this rate, the ozone layer could recover almost fully by 2050.
To insure that ozone really is recovering--and to alert the world if it is not--NASA has been flying ozone sensors in Earth orbit for decades.
The first of the SAGE sensors rode to space on Earth observing satellites in the late-1970s and early-80s.  SAGE II data helped confirm the decline of the ozone layer and measured the effect of the Mt. Pinatubo eruption on the stratosphere. A SAGE III sensor onboard the Russian Meteor-3M satellite extended the ozone record into the 2000s with higher precision than ever.
It is not unusual for researchers to refer to SAGE as "the gold standard" in ozone monitoring. "The SAGE ozone product has a high accuracy, better than 1% in the mid-to-lower stratosphere, and a very high vertical resolution of 1km or better," says Zawodny.
When SAGE III reaches the space station, it will measure ozone deeper into the atmosphere than ever before, reaching all the way down into the troposphere where planes fly and people live.
SAGE III (sage3, 200px)
Preparing for launch: SAGE III in the laboratory at Langley Research Center. More
"From ISS, SAGE III will get a global picture of tropospheric ozone," says Zawodny. "I suspect there will be a few surprises in those measurements."
Zawodny is eager to learn what SAGE III finds in the lower stratosphere over the tropics. "The recovery of ozone there is tied to changes in greenhouse gases like CO2. Given what we know about recent increases in greenhouse emissions, it is possible that ozone in the tropics will never return to 1980s levels."
SAGE III probes Arctic regions, too.  Using the Moon as a light source, SAGE III can to detect ozone during the darkness of polar winter where other satellites have trouble seeing.
It's enough to make a hard-nosed researcher wax eloquent: "Images of the moon and sun rising and setting are dramatic and spectacular,” says Zawodny. “The interplay between the source of light and the environment delights the senses and stirs the imagination. The ability for SAGE III to turn those perceptions into something meaningful is a great pleasure."
In other words, stay tuned for some beautiful ozone data.
Credits:
Author: Dr. Tony PhillipsProduction editor: Dr. Tony Phillips | Credit: Science@NASA

Stand Up Comedy Sule - Asal Mula Tawuran

Stand Up Comedy Mongol Edisi Rabu 6 Februari 2013

Stand Up Comedy- Resolusi Tahun 2013

stand up comedy show dr.FAUZI. (Sumpah Pemuda)

Bayu Skak - Malam Tahun Baruku (BOHOSO JOWO)

Новости Астероид 2012 DA14 успешно пронесся мимо Земли

Kuran'da İnanılmaz Astronomi Mucizesi (ispatlı)

Intro Almanak Astronomi 2013 event at National Planetarium 7 Feb 2013

ISLAMISKA ASTRONOMI

euronews science - Appuntamento col buco nero nel 2013

Simulasi Animasi Luna 9, Mendarat di Bulan.flv

Science News

... from universities, journals, and other research organizations

NASA's Swift Sizes Up Comet ISON

Mar. 29, 2013 — Astronomers from the University of Maryland at College Park (UMCP) and Lowell Observatory have used NASA's Swift satellite to check out comet C/2012 S1 (ISON), which may become one of the most dazzling in decades when it rounds the sun later this year.
Using images acquired over the last two months from Swift's Ultraviolet/Optical Telescope (UVOT), the team has made initial estimates of the comet's water and dust production and used them to infer the size of its icy nucleus.
"Comet ISON has the potential to be among the brightest comets of the last 50 years, which gives us a rare opportunity to observe its changes in great detail and over an extended period," said Lead Investigator Dennis Bodewits, an astronomer at UMCP.
Additional factors, including an encounter with Mars followed by a scorching close approach to the sun, make comet ISON an object of special interest. In late February, at NASA's request, a team of comet experts initiated the Comet ISON Observing Campaign (CIOC) to assist ground- and space-based facilities in obtaining the most scientifically useful data.
Like all comets, ISON is a clump of frozen gases mixed with dust. Often described as "dirty snowballs," comets emit gas and dust whenever they venture near enough to the sun that the icy material transforms from a solid to gas, a process called sublimation. Jets powered by sublimating ice also release dust, which reflects sunlight and brightens the comet.
Typically, a comet's water content remains frozen until it comes within about three times Earth's distance to the sun. While Swift's UVOT cannot detect water directly, the molecule quickly breaks into hydrogen atoms and hydroxyl (OH) molecules when exposed to ultraviolet sunlight. The UVOT detects light emitted by hydroxyl and other important molecular fragments as well as sunlight reflected from dust.
The Jan. 30 UVOT observations reveal that ISON was shedding about 112,000 pounds (51,000 kg) of dust, or about two-thirds the mass of an unfueled space shuttle, every minute. By contrast, the comet was producing only about 130 pounds (60 kg) of water every minute, or about four times the amount flowing out of a residential sprinkler system.
"The mismatch we detect between the amount of dust and water produced tells us that ISON's water sublimation is not yet powering its jets because the comet is still too far from the sun," Bodewits said. "Other more volatile materials, such as carbon dioxide or carbon monoxide ice, evaporate at greater distances and are now fueling ISON's activity."
At the time, the comet was 375 million miles (604 million km) from Earth and 460 million miles (740 million km) from the sun. ISON was at magnitude 15.7 on the astronomical brightness scale, or about 5,000 times fainter that the threshold of human vision.
Similar levels of activity were observed in February, and the team plans additional UVOT observations.
While the water and dust production rates are relatively uncertain because of the comet's faintness, they can be used to estimate the size of ISON's icy body. Comparing the amount of gas needed for a normal comet to blow off dust at the rate observed for ISON, the scientists estimate that the nucleus is roughly 3 miles (5 km) across, a typical size for a comet. This assumes that only the fraction of the surface most directly exposed to the sun, about 10 percent of the total, is actively producing jets.
An important question is whether ISON will continue to brighten at the same pace once water evaporation becomes the dominant source for its jets. Will the comet sizzle or fizzle?
"It looks promising, but that's all we can say for sure now," said Matthew Knight, an astronomer at Lowell Observatory in Flagstaff, Ariz., and a member of the Swift and CIOC teams. "Past comets have failed to live up to expectations once they reached the inner solar system, and only observations over the next few months will improve our knowledge of how ISON will perform."
Based on ISON's orbit, astronomers think the comet is making its first-ever trip through the inner solar system. Before beginning its long fall toward the sun, the comet resided in the Oort comet cloud, a vast shell of perhaps a trillion icy bodies that extends from the outer reaches of the planetary system to about a third of the distance to the star nearest the sun.
Formally designated C/2012 S1 (ISON), the comet was discovered on Sept. 21, 2012, by Russian astronomers Vitali Nevski and Artyom Novichonok using a telescope of the International Scientific Optical Network located near Kislovodsk.
The first of several intriguing observing opportunities occurs on Oct. 1, when the inbound comet passes about 6.7 million miles (10.8 million km) from Mars.
"During this close encounter, comet ISON may be observable to NASA and ESA spacecraft now working at Mars," said Michael Kelley, an astronomer at UMCP and also a Swift and CIOC team member. "Personally, I'm hoping we'll see a dramatic postcard image taken by NASA's latest Mars explorer, the Curiosity rover."
Fifty-eight days later, on Nov. 28, ISON will make a sweltering passage around the sun. The comet will approach within about 730,000 miles (1.2 million km) of its visible surface, which classifies ISON as a sungrazing comet. In late November, its icy material will furiously sublimate and release torrents of dust as the surface erodes under the sun's fierce heat, all as sun-monitoring satellites look on. Around this time, the comet may become bright enough to glimpse just by holding up a hand to block the sun's glare.
Sungrazing comets often shed large fragments or even completely disrupt following close encounters with the sun, but for ISON neither fate is a forgone conclusion.
"We estimate that as much as 10 percent of the comet's diameter may erode away, but this probably won't devastate it," explained Knight. Nearly all of the energy reaching the comet acts to sublimate its ice, an evaporative process that cools the comet's surface and keeps it from reaching extreme temperatures despite its proximity to the sun.
Following ISON's solar encounter, the comet will depart the sun and move toward Earth, appearing in evening twilight through December. It will swing past Earth on Dec. 26, approaching within 39.9 million miles (64.2 million km) or about 167 times farther than the moon.
Whether we'll look back on ISON as a "comet of the century" or as an overhyped cosmic dud remains to be seen, but astronomers are planning to learn the most they can about this unusual visitor no matter what happens.
Twitter : @ Abi_Abiee

Peredaran Matahari, Bumi dan Bulan

PEREDARAN MATAHARI, BUMI DAN BULAN
Oleh: M.Mas'ud Habiburrahman

A. Peredaran Semu Matahari
B. Peredaran Bumi 
   1. Rotasi Bumi
   2. Revolusi Bumi
   3. Gerak Presesi
   4. Gerak Nutasi
   5. Gerak Apsiden
C. Peredaran Bulan
   1. Rotasi Bulan
   2. Revolusi Bulan
   3. Fase-Fase Bulan


PEREDARAN MATAHARI, BUMI DAN BULAN


A. Peredaran Semu Matahari
Setiap hari kita melihat bahwa matahari terbit di kaki langit sebelah Timur, lalu bergerak makin lama makin tinggi, hingga akhirnya pada tengah hari mencapai tempat kedudukannya yang paling tinggi pada hari itu. Setelah itu ia meneruskan perjalannya, tempatnya di langit main lama makin rendah, dan pada senja hari kita lihat ia terbenam di ufuk sebelah Barat.
Perjalanan matahari seperti itu bukanlah gerak matahari yang sebenarnya, akan tetapi terjadi akibat adanya perputaran bumi pada porosnya (rotasi) selama sehari semalam. Peristiwa perjalanan matahari semacam itu dinamakan perjalanan semu matahari. Disamping melakukan perjalanan semu, matahari juga melakukan perjalanan tahunannya yang sesungguhnya, yakni perjalanan matahari dari arah Barat ke Timur dalam waktu satu tahun (365,2425 hari) untuk sekali putaran. Dengan demikian dalam sehari matahari bergerak 000 59' 08,33".
Jalur perjalanan tahunan matahari itu tidak berimpit dengan equator langit, tetapi ia membentuk sudut sekitar 230 27' dengan equatr. Jalur perjalanan matahari inilah yang disebut Ekliptika (da-iratul Buruj). Ekliptika (da-iratul Buruj) ialah lingkaran besar pada bola langit yang memotong lingkaran equator langit dengan membentuk sudut 230 27' .
Titik perpotongan antara lingkaran equator dengan ekliptika itu terjadi dua kali. Perpotongan pertama terjadi pada saat matahari bergerak dari langit bagian selatan ke langit bagian utara yaitu di titik Aries (tanggal 21 Maret) yang disebut Vernal Equinox. Perpotongan kedua terjadi pada saat matahari bergerak dari bagian langit utara ke bagian langit selatan yaitu pada titik Libra (tanggal 23 September) yang disebut Auntumnal Equinox.
Ekliptika terbagi atas 12 bagian yang masing-masing besarnya 30 derajat. Bagian-bagian itu disebut rasi bintang (mintaqatul buruj/zodiac/ constelation). Zodiak ini terdiri dari dua belas (12) rasi bintang yang membentang disepanjang ekliptika, sehingga seolah-olah merupakan ikat pinggang bola langit. Rasi bintang ialah gugusan bintang-bintang yang sering disebut dengan zodiak atau constelation. Rasi bintang yang ada di sabuk zodiak ada 12, yaitu:
Aries atau Haml (domba)
Taurus atau Tsaur (sapi jantan)
Gemini atau Jauza' (anak kembar)
Cancer atau Sarathan atau (kepiting)
Leo atau atau Asad (singa)
Virgo atau Sunbulah (anak gadis)
Libra atau Mizan (neraca)
Scorpio atau Aqran (kala jengking)
Sagitarius atau Qaus (panah)
Copricornus atau Jadyu (anak kambing)
Aquarius atau Dalwu (timba)
Pisces atau Hut (ikan)
Pada saat matahari menduduki rasi bintang Aries, Taurus dan gemini atau antara tanggal 21 Maret – 21 Juni (matahari berada disebelah utara ekuator) belahan bumi bagian utara mengalami musim bunga (spring) dan belahan bumi bagian selatan mengalami musim rontok (autum). Pada saat matahari menduduki rasi bintang Cancer, Leo dan Virgo atau antara tanggal 21 Juni – 23 September (matahari berada disebelah utara ekuator) belahan bumi bagian utara mengalami musim panas (summer) dan belahan bumi bagian selatan mengalami musim dingin (winter).
Pada saat matahari menduduki rasi bintang Libra, Scorpio dan Sagitarius atau antara tanggal 23 September – 22 Desember (matahari berada disebelah selatan ekuator) belahan bumi bagian utara mengalami musim rontok dan belahan bumi bagian selatan mengalami musim bunga. Pada saat matahari menduduki rasi bintang Aries, Taurus dan gemini atau antara tanggal 22 Desember – 21 Maret (matahari berada disebelah selatan ekuator) belahan bumi bagian utara mengalami musim dingin dan belahan bumi bagian selatan mengalami musim panas. Untuk memudahkan pemahaman perhatikanlah tabel berikut:

No
Tanggal
Perubahan Musim
Utara
Selatan
1
21 Maret – 21 Juni
Bunga
Rontok
2
21 Juni – 23 Sept
Panas
Dingin
3
23 Sept – 22 Des
Rontok
Bunga
4
22 Des – 21 Maret
Dingin
panas

B. Peredaran Bumi
1. Rotasi Bumi
Gerak bumi berputar pada porosnya disebut gerak rotasi bumi. Arah berotasi dengan arah dari barat ke timur. Periode rotasi bumi adalah 23 jam 56 menit 4 detik.


Akibat dari rotasi bumi sebagai :
a. Gerak harian benda langit dari timur ke barat (terbit di timur, terbenam di barat, dan terjadinya pergantian siang malam).
b. Terjadi pepatan bumi di arah kutubnya (momentum sudut lebih besar pada daerah equator )
c. Efek coriolis pada arah angin.
d. Perubahan arah ayunan bandul.
e. Perubahan arah arus laut sepanjang equator bumi.


2. Revolusi Bumi
Gerak bum i mengedari matahari disebut gerak revolusi bumi. Bidang orbit bumi mengedari disebut bidang ekliptika. Letaknya miring 23o 30’ terhadap bidang equator langit (perpanjangan bidang equator bumi). Periode revolusi bumi = 365.25 hari. Gerak revolusi bumi disebut juga gerak tahunan bumi atau gerak annual.
Akibat dari gerak revolusi bumi sebagai berikut :
a. Gerak semu tahunan matahari di daerah zodiak. Gerak harian matahari terlambat 4 menit dari bintang setiap harinya, atau bergeser ke arah timur sebesar 1o (satu derajat) busur di latar belakang bintang-bintang di daerah zoodiak.
b. Terjadinya paralaks bintang.
c. Terjadinya pergantian musim di permukaan bumi akibat kemiringan sumbu bumi sebesar 66o 30’ terhadap bidang peredarannya (bidang ekliptika).

3. Gerak Presesi
Gerak presesi bumi disebut juga gerak gasing bumi, Maksudnya adalah perputaran sumbu rotasi bumi mengedari sumbu bidang ekliptika. Periode gerak presesi bumi = 26.000 tahun. Terjadi akibat kemiringan sumbu bumi terhadap bidang ekliptika sebesar 66o30’. Matahari berusaha menarik bulatan bumi untuk jatuh ke bidang ekliptika, namun karena bumi berotasi, akibatnya sumbu bumi berputar bagaikan sebuah gasing yang mau jatuh.
Akibat dari gerak presesi bumi sebagai berikut :
a. Kutub langit Utara dan Selatan tidak tetap letaknya, selalu berpindah karena memutari kutub ekliptika dengan periode 26.000 tahun.
b. Koordinat seluruh benda langit selalu berubah untuk jangka waktu panjang. Letak matahari dan titik Aries (Titik Hamal/Titik Aries)) berpindah letaknya di zodiak ke arah barat (mundur) dengan periode 26.000 tahun. Setiap zodiak ditempuh sekitar 2000 tahunan.

4. Gerak Nutasi
Lingkaran gerak presesi bumi tidak mulus, melainkan bergelombang dengan periode gerak gelombangnya 19 tahun. Gerak gelombang ini disebut gerak nutasi. Gerak nutasi terjadi akibat pengaruh bulan yang berusaha menarik bumi ke bidang orbit bulan. Bidang orbit bulan miring 5o 12’ terhadap ekliptika.

5. Gerak Apsiden
Ialah gerak titik aphelium dan prehelium bergeser dari arah Timur ke Barat. Pergeseran titik aphelium dan prehelium ini menempuh sekali putaran (3600) selama sekitar 21.000 tahun sehingga gerak ini sebesar 0,17" perhari.

C. Peredaran Bulan
1. Rotasi Bulan
Bulan berputar pada porosnya dengan periode 27 1/3 hari = 27 hari 7 jam 43 menit 11,5 detik.

2. Revolusi Bulan
Bulan berputar mengelilingi bumi dengan periode 27 1/3 hari = 27 hari 7 jam 43 menit 11,5 detik. Akibat rotasi dan revolusi bulan waktunya bersamaan, maka daerah permukaan bulan yang menghadap ke bumi selalu tetap. Manusia mengetahui daerah yang membelakangi bumi setelah penerbangan pesawat Apollo yang berhasil memotret bagian belakang bulan.

3. Gerak Librasi
Gerak sumbu bulan yang melintang maupun membujur disebut gerak librasi bulan, disebut juga gerak angguk bulan. Terjadi akibat kemiringan sumbu bulan terhadap sumbu bidang orbitnya sebesar 6o 30’. Kemiringan bidang orbit bulan terhadap bidang ekliptika sebesar 5o12’. Akibatnya permukaan bulan yang menghadap ke bumi sedikit berubah akibat gerak angguk bulan tersebut.

4. Fase-Fase Bulan
Bulan adalah satu-satunya satelit yang ada di Bumi. Ia tidak mempunyai sinar sendiri seperti matahari. Bulan seolah-olah bersinar disebabkan bulan memantulkan kembali cahaya yang diterimanya dari matahari. Karena bulan itu beredar mengelilingi bumi, maka bagian-bagian muka bulan berbeda-beda pula yang mendapat cahaya matahari.
Akibatnya kadang-kadang kita lihat seluruh muka bulan yang terang, tetapi pada waktu lain hanya sebagian kecil dari muka bulan yang terang karena mendapat sinar matahari. Keadaan ini menyebabkan seolah-olah bulan itu berubah-rubah bentuknya. Hal ini disebut fase dari bulan.
Pada saat bulan berada diantara bumi dan matahari (ijtima'), maka seluruh bagian bulan yang tidak menerima sinar matahari persis menghadap bumi. Akibatnya bulan pada saat itu tidak tampak dari bumi. Hal ini disebut bulan mati.
Siklus fase bulan ini dimulai dengan bulan baru, yaitu pada waktu bulan berada di antara bumi dan matahari.

Astronomi Islam Menguak Rahasia Langit

Posted in Abi by M.Mas'ud Chabiburochman

Add to Technorati Favorites Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, Astronomi kerap dijuluki sebagai ‘ratu sains’. Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan manusia. Sejak dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa.
Awalnya, manusia menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang magis. Seiring berputarnya waktu dan zaman, manusia pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang mereka amati di angkasa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati langit, manusia pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu untuk mulai menabur benih dan panen.
Jejak astronomi tertua ditemukan dalam peradaban bangsa Sumeria dan Babilonia yang tinggal di Mesopotamia (3500 – 3000 SM). Bangsa Sumeria hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi. Pembagian lingkaran menjadi 360 derajat berasal dari bangsa Sumeria.
Orang Sumeria juga sudah mengetahui gambaran konstelasi bintang sejak 3500 SM. Mereka menggambar pola-pola rasi bintang pada segel, vas, dan papan permainan. Nama rasi Aquarius yang dikenal saat ini berasal dari bangsa Sumeria.
Astronomi juga sudah dikenal masyarakat India kuno. Sekitar tahun 500 SM, Aryabhata melahirkan sistem matematika yang menempatkan bumi berputar pada porosnya. Aryabhata membuat perkiraan mengenai lingkaran dan diameter bumi. Brahmagupta (598 – 668) juga menulis teks astronomi yang berjudul Brahmasphutasiddhanta pada 628. Dialah astronom pendahulu yang menggunakan aljabar untuk memecahkan masalah-masalah astronomi.
Masyarakat Cina kuno 4000 SM juga sudah mengenal astronomi. Awalnya, astronomi di Cina digunakan untuk mengatur waktu. Orang Cina menggunakan kalender lunisolar. Namun, kerena perputaran matahari dan bulan berbeda, para ahli astronomi Cina sering menyiapkan kalender baru dan membuat observasi.
Bangsa Yunani kuno juga amat tertarik dengan astronomi. Adalah Thales yang mengawalinya pada abad ke-6 SM. Menurut dia, bumi itu berbentuk datar. Phytagoras sempat membantah pendapat itu dengan menyatakan bumi itu bulat. Dua abad berselang, Aristoteles melahirkan terobosan penting yang menegaskan menyatakan bahwa bumi itu bulat bundar.
Aristachus pada abad ke-3 SM sempat melontarkan pendapat bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta. Teori itu tak mendapat tempat pada masa itu. Era astronomi klasik ditutup Hipparchus pada abad ke-1 SM yang melontarkan teori geosentris. Bumi itu diam dan dikelilingi oleh matahari, bulan, dan planet-planet yang lain. Sistem geosentris itu disempurnakan Ptolomeus pada abad ke-2 M .
Astronomi Islam
Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 – 15 M). Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh astronomi Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam, Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair, Betelgeus.
Selain itu, astronomi Islam juga mewariskan beberapa istilah dalam `ratu sains’ itu yang hingga kini masih digunakan, seperti alhidade, azimuth, almucantar, almanac, denab, zenit, nadir, dan vega. Kumpulan tulisan dari astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya mencapaii 10 ribu manuskrip.
Ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi Islam ke dalam empat periode. Periode pertama (700-825 M) adalah masa asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi Yunani, India dan Sassanid. Periode kedua (825-1025) adalah masa investigasi besar-besaran dan penerimaan serta modifikasi sistem Ptolomeus. Periode ketiga (1025-1450 M), masa kemajuan sistem astronomi Islam. Periode keempat (1450-1900 M), masa stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Geliat perkembangan astronomi di dunia Islam diawali dengan penerjemahan secara besar-besaran karya-karya astronomi dari Yunani serta India ke dalam bahasa Arab. Salah satu yang diterjemahkan adalah karya Ptolomeus yang termasyhur, Almagest. Berpusat di Baghdad, budaya keilmuan di dunia Islam pun tumbuh pesat.
Sejumlah, ahli astronomi Islam pun bermunculan, Nasiruddin at-Tusi berhasil memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Selain itu, ahli matematika dan astronomi Al-Khawarizmi, banyak membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat terjadinya bulan baru, terbit-terbenam matahari, bulan, planet, dan untuk prediksi gerhana.
Ahli astronomi lainnya, seperti Al-Batanni banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.
Astronom Islam juga merevisi orbit bulan dan planet-planet. Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku ‘De Scienta Stelarum De Numeris Stellarum’ itu kini masih disimpan di Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi Eropa seperti Copernicus, Regiomantanus, Kepler dan Peubach tak mungkin mencapai sukses tanpa jasa Al-Batani. Copernicus dalam bukunya ‘De Revoltionibus Orbium Clestium’ mengaku berutang budi pada Al-Battani.
Dunia astronomi juga tak bisa lepas dari bidang optik. Melalui bukunya Mizan Al-Hikmah, Al Haitham mengupas kerapatan atmofser. Ia mengembangkan teori mengenai hubungan antara kerapatan atmofser dan ketinggiannya. Hasil penelitiannya menyimpulkan ketinggian atmosfir akan homogen di ketinggian lima puluh mil.
Teori yang dikemukakan Ibn Al-Syatir tentang bumi mengelilingi matahari telah menginspirasi Copernicus. Akibatnya, Copernicus dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga Galileo, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan dunia lama yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya astronomi Islam. Selain itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi yang menggunakan bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab selama abad kesembilan. Proses ini dipertinggi dengan toleransi terhadap sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa dipertahankan umat Islam.
Jejak Abadi di Kawah ke Bulan
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis Barat. Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya bagi pengembangan `ratu sains’ itu.
Al-Battani (858-929).
Sejumlah karya tentang astronomi terlahir dari buah pikirnya. Salah satu karyanya yang paling populer adalah al-Zij al-Sabi. Kitab itu sangat bernilai dan dijadikan rujukan para ahli astronomi Barat selama beberapa abad, selepas Al-Battani meninggal dunia. Ia berhasil menentukan perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang matahari, dan mengoreksi hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Al-Battani juga mengembangkan metode untuk menghitung gerakan dan orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang utama dalam merenovasi astronomi modern yang berkembang kemudian di Eropa.
Al-Sufi (903-986 M)
Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
Al-Biruni (973-1050 M)
Ahli astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang astrologi pada zaman Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga telah memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35 diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
Ibnu Yunus (1009 M)
Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah kawah di permukaan bulan. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
Al-Farghani
Nama lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada setem di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Jabir Ibn Aflah (1145 M)
Sejatinya Jabir Ibn Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematik Islam berbangsa Spanyol. Namun, Jabir pun ikut memberi warna da kontribusi dalam pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu orang barat menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera cakrawala mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan objek langit. Salah satu karyanya yang populer adalah Kitab al-Hay’ah.
Kegemilangan Observatorium Ulugh Beg
Sejatinya observatorium pertama di dunia dibangun astronom Yunani bernama Hipparchus (150 SM). Namun, di mata ahli astronomi Muslim abad pertengahan, konsep observatorium yang dilahirkan Hipparcus itu jauh dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim pun membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.
Sejumlah astronom Muslim yang dipimpin Nasir al-Din al-Tusi berhasil membangun observatorium astronomi di Maragha pada 1259 M. Observatorium itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu’ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi.
Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg. Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh perhatian terhadap astronomi.
`’Ketertarikan dalam astronomi bemula, ketika dia mengunjungi Observatorium Maragha yang dibangun ahli astronomi Muslim terkemuka, Nasir al-Din al-Tusi,” tutur Krisciunas. Geliat pengkajian astronomi di Samarkand mulai berlangsung pada tahun 1201. Namun, aktivitas astronomi yang sesungguhnya di wilayah kekuasaan Ulugh Beg mulai terjadi pada 1408 M.
Ghirah astronomi di Samarkand mengalami puncaknya ketika Ulugh Beg mulai membangun observatorim pada 1420. Menurut Kriscunas, berdasarkan laporan yang ditulis ahli astronomi pada saat iru, Al-Kashi aktivitas pengkajian astronomi di Observatorium Ulugh Beg didukung oleh tujuh puluh sarjana. Para ahli astronomi itu mendapatkan perlakukan istimewa dengan fasilitas dan gaji yang luar biasa besarnya.
Observatorium ini beroperasi selama 50 tahun. Sayangnya, setelah Ulugh Beg meninggal, obeservatorium itu pun mengalami kehancuran. Sejumlah astronom telah lahir dari lembaga itu yakni, Giyath al-Din Jamshid al-Kushy, Qadizada al-Rumy dan `Ali ibn Muhammad al-Qashji. Observatorium yang terakhir milik Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III (1574-1595) yang didirikan Taqi al-Din Muhammad ibn Ma’ruf al-Rashyd al-Dimashqiy. (Heri Ruslan–Republika)

Badai Komet di Matahari

Kala sebagian dari kita mencemaskan perilaku Matahari yang kian meningkat dan berujung pada aktivitas badai Matahari besar–besaran pada Desember 2012 kelak yang berpotensi memicu kiamat di Bumi, mitos yang berkembang menjadi urban legend padahal dari sisi fisika Matahari dan astronomi tidak memiliki bukti kuat, badai dalam jenis lain justru benar–benar terjadi di Matahari.
Selama sepuluh hari berturut–turut, tepatnya antara 13 hingga 22 Desember 2010, lingkungan di sekitar Matahari digempur 25 komet pelintas dekat Matahari (sungrazer atau sundiving), atau 5 komet per dua hari. Ini lima kali lipat lebih besar dibanding rata–rata normal bagi komet sungrazer, sehingga peristiwa tersebut merupakan badai komet.
Salah satu komet sungrazer yang terlibat dalam badai komet Desember 2010. Kiri: komet nampak utuh dalam citra LASCO C2 20 Desember 2010 pukul 16:38 UT. Kanan: dalam 5 jam kemudian coma telah menguap habis dan hanya menyisakan ekor komet yang samar. Kredit foto : SOHO
 
 
Akibat terangnya langit disekitar Matahari, tak satupun dari 25 komet sungrazer itu yang bisa diamati mata manusia di Bumi meski menggunakan teleskop terkuat sekalipun. Berterima kasihlah kepada SOHO (Solar and Heliospheric Observatory), satelit tua produk kolaborasi badan ruang angkasa AS (NASA) dan konsorsium Eropa (ESA) yang telah bertengger di orbitnya sejauh 1,5 juta km dari Bumi sejak 1995, karena hanya dengan mata tajamnyalah khususnya melalui teleskop LASCO (Large Scale Coronagraph) C2 dan C3, badai komet ini bisa teramati. LASCO bertumpu pada koronagrafnya yang memblokir cakram fotosfer Matahari yang menyilaukan, ibarat menciptakan gerhana Matahari artifisial secara terus menerus yang memungkinkan lingkungan langit di dekat matahari bisa diamati dengan lebih seksama.
Astronom Matthew Knight dari Observatorium Lowell di Flagstaff, Arizona (AS) menggarisbawahi bahwa semua komet yang terlibat dalam peristiwa badai komet sungrazer tersebut adalah komet mini, dengan garis tengah hanya puluhan meter. Komet–komet itu juga merupakan komet es, yakni komet yang intinya merupakan gumpalan material volatil dan debu yang diikat es. Konsekuensinya, ketika komet–komet tersebut bergerak menuju perihelionnya (titik terdekat orbitnya dengan Matahari), peningkatan suhu akibat penyinaran Matahari menyebabkan sublimasi es menjadi uap sehingga timbul emisi debu, uap air dan material volatil lainnya dengan intensitas yang kian bertambah. Secara kasat mata hal ini nampak sebagai terbentuknya dan meningkatnya ukuran coma beserta kecerlangannya. Pada komet sungrazer kecil, termasuk yang terlibat badai komet ini, peningkatan suhu kala mendekati perihelionnya demikian besar sehingga terjadi sublimasi brutal yang menguapkan seluruh massa inti komet tanpa sisa.
Dari 2.000 buah komet sungrazer yang telah terdeteksi SOHO selama ini, 83 % di antaranya dikategorikan sebagai keluarga komet Kreutz. Komet–komet yang tergabung dalam keluarga komet ini, yang mengambil namanya dari Heinrich Kreutz astronom berkebangsaan Jerman yang pertama kali memperlihatkan hubungan antara komet–komet sungrazer, merupakan komet berorbit retrograde karena memiliki inklinasi 144o dan longitude perihelion di sekitar 280o–282o. Analisis dinamika anggota keluarga komet Kreutz oleh astronom Brian Marsden dari Harvard Minor Planet Center memperlihatkan sekuens evolusi komet yang mengesankan yang telah dimulai lebih dari dua millenium lalu.
Komet Ikeya–Seki, diabadikan astronom Roger Lynds di observatorium Kitt Peak, Arizona (AS) pada 29 Oktober 1965. Ikeya–Seki merupakan anggota utama keluarga komet Kreutz. Komet–komet dari keluarga komet Kreutz inilah yang berpartisipasi dalam badai komet Desember 2010 Kredit foto : NASA
 Komet–komet Kreutz kemungkinan besar berasal dari sebuah komet sangat besar (dengan diameter inti ~100 km atau lebih dari dua kali lipat diameter inti komet legendaris Hale–Bopp) yang menempuh orbit sangat lonjong (eksentrisitas ~ 0,99) dengan periode 600–700 tahun yang mencapai perihelionnya di tahun 372 SM. Aristoteles, Ephorus dari Cymea dan sejarawan Callisthenes dari Olynthus turut menjadi saksi munculnya komet ini, namun yang mengejutkan tak satupun peradaban di luar Yunani (misalnya Cina atau Mesir) yang mencatatnya. Saat itu komet terlihat sangat cemerlang dengan ekor sangat panjang memenuhi langit. Berselang beberapa waktu kemudian terjadilah gempa besar Achaea yang menghancurleburkan kota Helice dan Buris. Inilah yang kelak di kemudian hari membuat Aristoteles menabalkan komet sebagai benda langit pembawa berita buruk, sebuah miskonsepsi yang terus bertahan hingga kini.
Ephorus dari Cymea menyebut komet tersebut kemudian nampak terpecah menjadi dua bagian. Dengan besarnya diameter inti komet dan sangat dekatnya perihelion dengan Matahari (diindikasikan hanya 70.000 km dari permukaan fotosfer), gaya pasang surut gravitasi (tidal) Matahari memungkinkan terjadinya fragmentasi (pemecah–belahan) inti mengingat perihelion komet telah memasuki ruang Hill (orbit Roche) Matahari. Namun pernyataan Ephorus tidak disokong oleh sumber–sumber lain. Analisis memperlihatkan meski fragmentasi kemungkinan besar terjadi, namun fragmen–fragmennya mustahil untuk bisa dilihat mengingat dengan dekatnya perihelion terhadap Matahari, langit menjadi sangat terang sehingga komet takkan terlihat di siang bolong.
Tidak ada catatan yang jelas mengenai komet sejenis di abad kelima. Catatan berikutnya memperlihatkan komet yang sama muncul lagi di tahun 1106 M dan teramati oleh hampir semua peradaban yang eksis saat itu seperti Romawi (Timur), Cina, Jepang, Korea dan Islam. Komet teramati hingga 40 hari di siang bolong sejak Februari 1106, sangat terang dengan ekor sangat panjang (60°–100°). Marsden mengestimasi komet ini (yang dikatalogkan sebagai komet X/1106 C1) hanya sejauh 70.000 km dari permukaan fotosfer Matahari saat mencapai perihelionnya dan terfragmentasi dalam 1,8 jam kemudian. Fragmentasi demi fragmentasi saat berada di titik perihelionnya inilah yang menghasilkan beraneka ragam fragmen dari berbagai ukuran, yang kemudian menjadi keluarga komet Kreutz. Fragmentasi yang sama juga membuat karakter orbit tiap fragmen yang terbentuk menjadi sedikit berubah dibanding induknya.
Gangguan gravitasi 4 planet besar tata surya (Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus) pun berperan mengubah orbit tiap fragmen, sehingga periodenya merentang antara 700 tahun hingga 900 tahun. Cukup banyak fragmen mini yang terbentuk dan tak teramati meski tiba di perihelionnya. Namun ada beberapa fragmen besar yang terbentuk sehingga nampak sangat terang dan bisa diamati dengan mudah. Salah satunya adalah komet Ikeya Seki (C/1965 S1), dengan diameter ~5 km yang nampak sejak September 1965 hingga Januari 1966 dan pada puncaknya memiliki magnitude visual –11 (hampir menyamai Bulan purnama) kala melintas 450.000 km dari permukaan fotosfer Matahari.
Jadi, peristiwa badai komet di Matahari pada bulan Desember 2010 lalu bukanlah peristiwa yang datang secara tiba–tiba. Badai tersebut merupakan rentetan kemunculan komet sungrazer, yang pemicunya diinisiasikan pada 2.400 tahun silam. Apakah badai komet ini berpengaruh pada Bumi? Dengan karakteristik orbitnya yang retrograde dan tidak bersinggungan dengan orbit Bumi, komet–komet sungrazer memiliki probabilitas nol untuk bertabrakan dengan Bumi. Sebaliknya komet–komet sungrazer kerap menyajikan pemandangan langit nan mengesankan, seperti yang terakhir kita alami di tahun 1965 lalu.

Senin, 25 Maret 2013

Universe Older Than Previously Thought






March 21, 2013: Europe's Planck spacecraft has obtained the most accurate and detailed map ever made of the oldest light in the universe. The map results suggest the universe is expanding more slowly than scientists thought, and is 13.8 billion years old, 100 million years older than previous estimates. The data also show there is less dark energy and more matter in the universe than previously known.
"Astronomers worldwide have been on the edge of their seats waiting for this map," said Joan Centrella, Planck program scientist at NASA Headquarters in Washington. "These measurements are profoundly important to many areas of science, as well as future space missions. We are so pleased to have worked with the European Space Agency on such a historic endeavor."
The newly estimated expansion rate of the universe, known as Hubble's constant, is 67.15 plus or minus 1.2 kilometers/second/megaparsec. A megaparsec is roughly 3 million light-years. This is less than prior estimates derived from space telescopes, such as NASA's Spitzer and Hubble, using a different technique. The new estimate of dark matter content in the universe is 26.8 percent, up from 24 percent, while dark energy falls to 68.3 percent, down from 71.4 percent. Normal matter now is 4.9 percent, up from 4.6 percent.
Planck (splash)
This map shows the oldest light in our universe, as detected with the greatest precision yet by the Planck mission. Image credit: ESA and the Planck Collaboration. Video
Planck is a European Space Agency mission. NASA contributed mission-enabling technology for both of Planck's science instruments, and U.S., European and Canadian scientists work together to analyze the Planck data.
The map, based on the mission's first 15.5 months of all-sky observations, reveals tiny temperature fluctuations in the cosmic microwave background, ancient light that has traveled for billions of years from the very early universe to reach us. The patterns of light represent the seeds of galaxies and clusters of galaxies we see around us today.
Auroras Underfoot (signup)
"As that ancient light travels to us, matter acts like an obstacle course getting in its way and changing the patterns slightly," said Charles Lawrence, the U.S. project scientist for Planck at NASA's Jet Propulsion Laboratory in Pasadena, Calif. "The Planck map reveals not only the very young universe, but also matter, including dark matter, everywhere in the universe."
Planck launched in 2009 and has been scanning the skies ever since, mapping the cosmic microwave background, the afterglow of the theorized big bang that created our universe. This relic radiation provides scientists with a snapshot of the universe 370,000 years after the big bang.
The cosmic microwave background is remarkably uniform over the entire sky, but tiny variations reveal the imprints of sound waves triggered by quantum fluctuations in the universe just moments after it was born. These imprints, appearing as splotches in the Planck map, are the seeds from which matter grew, forming stars and galaxies. Prior balloon-based and space missions learned a great deal by studying these patterns, including NASA's Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) and the Cosmic Background Explorer (COBE), which earned the 2006 Nobel Prize in Physics. Planck is the successor to these satellites, covering a wider range of light frequencies with improved sensitivity and resolution.
Planck (improvement)
This graphic illustrates the evolution of satellites designed to measure ancient light leftover from the big bang that created our universe 13.8 billion years ago. Planck has created the sharpest all-sky map ever made of the universe's cosmic microwave background, revealing light patterns as small as one-twelfth of a degree on the sky.
The age, contents and other fundamental traits of our universe are described in the so-called "Standard Model" of cosmology, which has been developed over the years by astronomers. These new data have allowed researchers to test and improve the Standard Model with the greatest precision yet. At the same time, some curious features are observed that don't quite fit with the simple picture. For example, the model assumes the sky is the same everywhere, but the light patterns are asymmetrical on two halves of the sky, and there is a spot extending over a patch of sky that is larger than expected.
"On one hand, we have a simple model that fits our observations extremely well, but on the other hand, we see some strange features which force us to rethink some of our basic assumptions," said Jan Tauber, the European Space Agency's Planck project scientist based in the Netherlands. "This is the beginning of a new journey, and we expect our continued analysis of Planck data will help shed light on this conundrum."
Complete results from Planck, which still is scanning the skies, will be released in 2014.

Ini Dia PaperTab, Tablet Kertas Elektronik Masa Depan

Revolusi tablet sepertinya menemukan arah yang cukup pasti di masa mendatang. Tersebutlah Tablet PaperTab yang menyeruakkan acara pekan pameran CES 2013 yang kini berlangsung di Las Vegas. Ini akan menjadi awal sebuah kertas elektronik memiliki fungsi seprti tablet biasa.
Tablet PaperTab yang dikembangankan di Universitas Queen yang berkolaborasi dengan Plastic Logic dan Lab Intel memiliki bentuk seperti kertas, apalagi dengan layar fleksibel dengan resolusi tinggi, tablet kertas berukuran 10.7 inci ini dilapisi plastik khusus yang dikembangkan oleh Plastic Logic. Tak hanya itu tablet fleksibel ini ditenagai oleh processor Intel Core i5 edisi kedua.
Tidak seperti tablet biasa, tablet kertas ini tidak dapat melakukan segala sesuatunya dalam 1 perangkat saja. Hanya bisa menjalankan 1 aplikasi saja dalam satu waktu. Anda akan memerlukan 10 atau lebih paperTab untuk menjalankan aplikasi yang banyak. Tampaknya memang belum praktis, tapi kemungkinan teknologi ini akan terus berkembang dalam 5 sampai 10 tahun mendatang menjadi lebih baik lagi.
“Menggunakan beberapa PaperTabs sekaligus akan menjadi lebih mudah bekerja dengan beberapa dokumen berbeda,” kata Roel Vertegaal, kepala Lab Universitas Queen. “Dalam waktu 5 atau 10 tahun ke depan, kebanyakan komputer, dari ultrabook sampai tablet akan berbentuk seperti ini dalam lembaran kertas.”
Tidak seperti tablet tradisional, PaperTabs mampu melacak lokasi antara PaperTabs satu dan lainnya. Misalkan saja, ketika sebuah PaperTab ditempatkan di luar jarak jangkauannya, ia akan mengubahnya menjadi icon thumbnail dari sebuah dokumen, seperti ikon kecil di komputer desktop. Ketika ikon tersebut Anda sentuh, maka dokumen akan tampil secara fullscreen, seperti ketika Anda membuka jendela di komputer Anda.
Dengan hanya satu sentuhan saja Anda dapat mengirim foto dari satu paperTab ke paperTab lainnya. Foto yang dikirim tersebut akan langsung secara otomatis masuk ke draft email dan menjadi attachment yang siap dikirim, selanjutnya Anda cukup menekuk ujung kanan atas dari paperTab maka email tersebut akan langsung dikirimkan. Begitu pula jika Anda ingin memperbesar layar, Anda cukup meletakkan 2 buah paperTab secara berdampingan dan keduanya seolah akan bergabung menjadi 1 layar.
“Layar fleksibel buatan Plastic Logic memang benar-benar sudah bertransformasi dan lebih interaktif,” kata Indro Mukerjee, CEO Plastic Logic. “Layar ini memungkinkan interaksi manusia secara alamiah seperti berinteraksi dengan kertas, bobotnya yang lebih ringan dan tipis namun lebih kuat dibandingkan dengan layar kaca biasa yang ada saat ini.”

Minggu, 24 Maret 2013

Baju antariksa NASA mirip karakter Toys Story

Reporter : Ikhwan Arief Prihastian
Sabtu, 22 Desember 2012 18:23:00 Baju antariksa baru NASA. ©2012 Merdeka.com
55
 


Insinyur NASA nampaknya baru saja melihat film animasi saat merancang suit luar angkasa terbaru. Lihat saja desain suit baru itu mirip dengan desain salah satu karakter di film tersebut.

NASA baru saja menyelesaikan pengujian pada baju luar angkasa yang kelak akan digunakan astronot masa depan. Baju yang diberi nama Z1 itu memiliki performa yang jauh lebih baik dibanding baju versi sebelumnya. Namun dari desain nampak baju luar angkasa tersebut, desainnya sangat dipengaruhi oleh desain Buzz Lightyear dari Toys Story.
buzz lightyear
Z1 banyak dipuji karena memiliki fleksibilitas yang sangat baik. pakaian ini akan membantu astronot untuk lebih luwes beraktivitas di luar angkasa. Pakaian ini juga memiliki sistem pintu khusus di bagian belakang untuk memudahkan astronot memakai dan melepasnya.

Z1 dilengkapi mekanisme khusus di bagian persendian. Hal ini untuk membantu astronot bergerak di luar angkasa yang bebas gravitasi. pakaian ini juga dilengkapi lapisan nylon dan polyester yang dilapisi urethane untuk membantu kontrol tekanan lebih efisien.

NASA berencana akan mulai menggunakan pakaian ini bagi astronot yang terbang mulai 2017. Bagaimana pendapat Anda tentang pakaian luar angkasa mirip Buzz Lightyear ini?
Sumber: Ubergizmo

My Widget
M.MASUD HABIBURRAHMAN