Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia,
Astronomi kerap dijuluki sebagai ‘ratu sains’. Astronomi memang
menempati posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan manusia. Sejak
dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip bintang dan
pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa.
Awalnya, manusia menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang
magis. Seiring berputarnya waktu dan zaman, manusia pun memanfaatkan
keteraturan benda-benda yang mereka amati di angkasa untuk memenuhi
kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati langit, manusia
pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu untuk
mulai menabur benih dan panen.
Jejak astronomi tertua ditemukan dalam peradaban bangsa Sumeria dan
Babilonia yang tinggal di Mesopotamia (3500 – 3000 SM). Bangsa Sumeria
hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi. Pembagian lingkaran
menjadi 360 derajat berasal dari bangsa Sumeria.
Orang Sumeria juga sudah mengetahui gambaran konstelasi bintang sejak
3500 SM. Mereka menggambar pola-pola rasi bintang pada segel, vas, dan
papan permainan. Nama rasi Aquarius yang dikenal saat ini berasal dari
bangsa Sumeria.
Astronomi juga sudah dikenal masyarakat India kuno. Sekitar tahun 500
SM, Aryabhata melahirkan sistem matematika yang menempatkan bumi
berputar pada porosnya. Aryabhata membuat perkiraan mengenai lingkaran
dan diameter bumi. Brahmagupta (598 – 668) juga menulis teks astronomi
yang berjudul
Brahmasphutasiddhanta pada 628. Dialah astronom pendahulu yang menggunakan aljabar untuk memecahkan masalah-masalah astronomi.
Masyarakat Cina kuno 4000 SM juga sudah mengenal astronomi. Awalnya,
astronomi di Cina digunakan untuk mengatur waktu. Orang Cina menggunakan
kalender lunisolar. Namun, kerena perputaran matahari dan bulan
berbeda, para ahli astronomi Cina sering menyiapkan kalender baru dan
membuat observasi.
Bangsa Yunani kuno juga amat tertarik dengan astronomi. Adalah Thales
yang mengawalinya pada abad ke-6 SM. Menurut dia, bumi itu berbentuk
datar. Phytagoras sempat membantah pendapat itu dengan menyatakan bumi
itu bulat. Dua abad berselang, Aristoteles melahirkan terobosan penting
yang menegaskan menyatakan bahwa bumi itu bulat bundar.
Aristachus pada abad ke-3 SM sempat melontarkan pendapat bahwa Bumi
bukanlah pusat alam semesta. Teori itu tak mendapat tempat pada masa
itu. Era astronomi klasik ditutup Hipparchus pada abad ke-1 SM yang
melontarkan teori geosentris. Bumi itu diam dan dikelilingi oleh
matahari, bulan, dan planet-planet yang lain. Sistem geosentris itu
disempurnakan Ptolomeus pada abad ke-2 M .
Astronomi Islam
Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan,
maka kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi
berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 – 15 M). Karya-karya
astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan dikembangkan
para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh astronomi Islam yang cukup signifikan
adalah penamaan sejumlah bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti
Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam, Mintaka (tiga bintang terang di
sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair, Betelgeus.
Selain itu, astronomi Islam juga mewariskan beberapa istilah dalam
`ratu sains’ itu yang hingga kini masih digunakan, seperti alhidade,
azimuth, almucantar, almanac, denab, zenit, nadir, dan vega. Kumpulan
tulisan dari astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan
jumlahnya mencapaii 10 ribu manuskrip.
Ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi
Islam ke dalam empat periode. Periode pertama (700-825 M) adalah masa
asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi Yunani, India dan Sassanid.
Periode kedua (825-1025) adalah masa investigasi besar-besaran dan
penerimaan serta modifikasi sistem Ptolomeus. Periode ketiga (1025-1450
M), masa kemajuan sistem astronomi Islam. Periode keempat (1450-1900 M),
masa stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Geliat perkembangan astronomi di dunia Islam diawali dengan
penerjemahan secara besar-besaran karya-karya astronomi dari Yunani
serta India ke dalam bahasa Arab. Salah satu yang diterjemahkan adalah
karya Ptolomeus yang termasyhur, Almagest. Berpusat di Baghdad, budaya
keilmuan di dunia Islam pun tumbuh pesat.
Sejumlah, ahli astronomi Islam pun bermunculan, Nasiruddin at-Tusi
berhasil memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan
prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda
langit. Selain itu, ahli matematika dan astronomi Al-Khawarizmi, banyak
membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat terjadinya bulan
baru, terbit-terbenam matahari, bulan, planet, dan untuk prediksi
gerhana.
Ahli astronomi lainnya, seperti Al-Batanni banyak mengoreksi
perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu.
Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung
secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan
yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5 jam, 46
menit dan 24 detik.
Astronom Islam juga merevisi orbit bulan dan planet-planet.
Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan kondisi dapat
terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah sistem
perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam)
menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam
sehingga berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku ‘De
Scienta Stelarum De Numeris Stellarum’ itu kini masih disimpan di
Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi Eropa seperti Copernicus, Regiomantanus,
Kepler dan Peubach tak mungkin mencapai sukses tanpa jasa Al-Batani.
Copernicus dalam bukunya ‘De Revoltionibus Orbium Clestium’ mengaku
berutang budi pada Al-Battani.
Dunia astronomi juga tak bisa lepas dari bidang optik. Melalui
bukunya Mizan Al-Hikmah, Al Haitham mengupas kerapatan atmofser. Ia
mengembangkan teori mengenai hubungan antara kerapatan atmofser dan
ketinggiannya. Hasil penelitiannya menyimpulkan ketinggian atmosfir akan
homogen di ketinggian lima puluh mil.
Teori yang dikemukakan Ibn Al-Syatir tentang bumi mengelilingi
matahari telah menginspirasi Copernicus. Akibatnya, Copernicus dimusuhi
gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga Galileo, yang
merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja
Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan dunia lama
yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya astronomi Islam. Selain
itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi yang menggunakan
bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
selama abad kesembilan. Proses ini dipertinggi dengan toleransi terhadap
sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa dipertahankan
umat Islam.
Jejak Abadi di Kawah ke Bulan
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan
dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di
era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis Barat. Inilah
beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya
bagi pengembangan `ratu sains’ itu.
Al-Battani (858-929).
Sejumlah karya tentang astronomi terlahir dari buah pikirnya. Salah satu karyanya yang paling populer adalah
al-Zij al-Sabi.
Kitab itu sangat bernilai dan dijadikan rujukan para ahli astronomi
Barat selama beberapa abad, selepas Al-Battani meninggal dunia. Ia
berhasil menentukan perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang
matahari, dan mengoreksi hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan
planet-planet tertentu. Al-Battani juga mengembangkan metode untuk
menghitung gerakan dan orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang utama
dalam merenovasi astronomi modern yang berkembang kemudian di Eropa.
Al-Sufi (903-986 M)
Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman
as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi
terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi
matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab
Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai
astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
Al-Biruni (973-1050 M)
Ahli astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang
astrologi pada zaman Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi
berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga telah
memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara
saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35
diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
Ibnu Yunus (1009 M)
Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya
diabadikan pada sebuah kawah di permukaan bulan. Salah satu kawah di
permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa
hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk memperhatikan benda-benda
di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter
1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai
kedudukan matahari sepanjang tahun.
Al-Farghani
Nama lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani.
Ia merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang
amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah seorang ahli astronomi pada
masa Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai
astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling populer adalah
Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali
diabadikan pada setem di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas
sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah
menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang
menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Jabir Ibn Aflah (1145 M)
Sejatinya Jabir Ibn Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematik Islam
berbangsa Spanyol. Namun, Jabir pun ikut memberi warna da kontribusi
dalam pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu orang barat
menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera cakrawala
mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan
objek langit. Salah satu karyanya yang populer adalah Kitab al-Hay’ah.
Kegemilangan Observatorium Ulugh Beg
Sejatinya observatorium pertama di dunia dibangun astronom Yunani
bernama Hipparchus (150 SM). Namun, di mata ahli astronomi Muslim abad
pertengahan, konsep observatorium yang dilahirkan Hipparcus itu jauh
dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim pun
membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.
Sejumlah astronom Muslim yang dipimpin Nasir al-Din al-Tusi berhasil
membangun observatorium astronomi di Maragha pada 1259 M. Observatorium
itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul.
Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka
seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu’ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din
al-Maghriby, dan banyak lagi.
Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The
Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun
sarjana Muslim adalah Ulugh Beg. Observatorium itu dibangun seorang
penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad
Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh
perhatian terhadap astronomi.
`’Ketertarikan dalam astronomi bemula, ketika dia mengunjungi
Observatorium Maragha yang dibangun ahli astronomi Muslim terkemuka,
Nasir al-Din al-Tusi,” tutur Krisciunas. Geliat pengkajian astronomi di
Samarkand mulai berlangsung pada tahun 1201. Namun, aktivitas astronomi
yang sesungguhnya di wilayah kekuasaan Ulugh Beg mulai terjadi pada 1408
M.
Ghirah astronomi di Samarkand mengalami puncaknya ketika Ulugh Beg
mulai membangun observatorim pada 1420. Menurut Kriscunas, berdasarkan
laporan yang ditulis ahli astronomi pada saat iru, Al-Kashi aktivitas
pengkajian astronomi di Observatorium Ulugh Beg didukung oleh tujuh
puluh sarjana. Para ahli astronomi itu mendapatkan perlakukan istimewa
dengan fasilitas dan gaji yang luar biasa besarnya.
Observatorium ini beroperasi selama 50 tahun. Sayangnya, setelah
Ulugh Beg meninggal, obeservatorium itu pun mengalami kehancuran.
Sejumlah astronom telah lahir dari lembaga itu yakni, Giyath al-Din
Jamshid al-Kushy, Qadizada al-Rumy dan `Ali ibn Muhammad al-Qashji.
Observatorium yang terakhir milik Islam dibangun di Istanbul tahun 1577,
di zaman kekuasaan Sultan Murad III (1574-1595) yang didirikan Taqi
al-Din Muhammad ibn Ma’ruf al-Rashyd al-Dimashqiy. (Heri Ruslan–
Republika)