Ilustrasi Kilang Minyak
Ilustrasi Kilang Minyak (sumber: Antara)
Jakarta - Memiliki kilang minyak baru merupakan solusi untuk mengurangi impor minyak mentah. Indonesia berpotensi menjadi negara importir minyak terbesar apabila belum memiliki kilang minyak baru pada 2020.
Vice President Strategic Planning, Business Development & Operational Risk-Refining Pertamina, Ardhy N. Mokobombang mengatakan pihaknya menggandeng Kuwait Petroleum Corporation dan Saudi Aramco Asia Company Limited membangun kilang minyak baru di tanah air. Dia menuturkan Pertamina bersama rekan bisnisnya tersebut masih menunggu lebih lanjut tentang beberapa insentif yang dibutuhkan.
"Pembangunan kilang memerlukan biaya investasi yang sangat besar sementara keekonomian kilang ini marjinar. Tidak terlalu atraktif sehingga perlu insentif, dukungan dari pemerintah," kata Ardhy dalam acara seminar 'Menciptakan Kebijakan Energi Nasional Yang Berorientasi Ketahanan Energi' di Jakarta, Senin (30/09).
Ardhy menjelaskan insentif yang dibutuhkan seperti pajak, insentif fiskal serta infrastruktur berupa ketersediaan lahan. Pembebasan lahan menjadi salah satu isu penting dalam pembangunan kilang.
Beberapa tempat yang direncanakan menjadi lokasi kilang seperti Kalimantan Timur, Balongan, Jawa Timur, Merak dan Sumatera Selatan. Lokasi tersebut masih dipertimbangkan secara keekonomiannya.
Dikatakannya membangun kilang lebih besar manfaatnya seperti menghemat devisa ketimbang membeli produk BBM dari luar negeri. Proses pembangunan kilang membutuhkan waktu hingga enam tahun.
Saat ini Pertamina bersama Kuwait sudah menyelesaikan studi kelayakan (feasible study) sedangkan dengan Saudi tahapan studi kelayakan tersebut baru dimulai. Dia menuturkan tahapan selanjutnya ialah mengkaji hasil studi tersebut. Apabila disepakati adanya nilai keekonomian maka dilakukan penandatanganan penyusunan join venture untuk melaksanakan implementasi proyek.
"Pada 2020 kita harus impor tiga kali lipat daripada volume sekarang. Indonesia akan menjadi negara importir minyak terbesar," ujarnya.
Penulis: Rangga Prakoso/YUD

#Merdeka.com - Di tengah laju pertumbuhan orang kaya dan semakin banyaknya kelompok masyarakat kelas menengah, Indonesia masih menyisakan persoalan kemiskinan dan jumlah penduduk di lingkungan kumuh.
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, mengatakan, 23 persen dari 240 juta penduduk Indonesia masih tinggal di pemukiman kumuh perkotaan. Dengan laju urbanisasi 1,7 persen per tahun, diperkirakan pada 2025 sekitar 68 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan.
Fenomena ini diyakini bakal meningkatkan kepadatan penduduk perkotaan. Di sisi lain, luas lahan perkotaan makin terbatas. "Diharapkan menghilangkan pemukiman kumuh di tahun 2020," ujarnya usai Pembukaan Pameran Habitat Dunia 2013 di JCC, Jakarta, Kamis (24/10).
Menurutnya, pemukiman kumuh muncul lantaran rendahnya kualitas hunian dan sarana serta prasarana perkotaan yang terbatas. Untuk itu, kata dia, pembangunan 225 twinblock rusunawa diklaim sebagai jawaban untuk menanggulangi area pemukiman kumuh di pelbagai kota.
Selain itu ada juga program peningkatan kualitas pemukiman di 1.142 pemukiman kumuh. "Kami juga membangun pengembangan sistem penyediaan air minum untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang telah dibangun di 1.079 kawasan dan sistem air limbah komunal di 1.638 kawasan," jelasnya.


# : Sub Berita